Sukses

Motor, Kronjot, dan Kambing: Geliat Tradisi Ojek Kambing di Zaman Now

Di tengah modernisasi dan geliat transportasi digital, ojek kambing di Pasar Hewan Munggi, Gunungkidul, tetap bertahan sebagai solusi pengangkutan ternak. Tradisi ini membuktikan bahwa warisan lokal masih memiliki tempat di era sekarang.

OlehHendro
Diperbarui 04 Jun 2025, 12:00 WIB Diterbitkan 04 Jun 2025, 12:00 WIB

Liputan6.com, Gunungkidul - Di tengah hiruk-pikuk modernisasi dan derasnya layanan transportasi online, ada sekelompok orang yang tetap setia dengan profesi uniknya yaitu ojek kambing. Pemandangan ini bisa Anda jumpai setiap hari pasaran Kliwon di Pasar Hewan Munggi, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Di sudut pasar, deretan motor dengan keranjang bambu besar alias kronjot terparkir rapi, siap mengangkut kambing pesanan pembeli. Bukan sekadar jasa angkut, ojek kambing telah menjadi denyut ekonomi lokal yang tak tergantikan, bahkan menjadi wajah lain dari tradisi yang tetap bertahan di tengah arus perubahan zaman.

Menurut Harjo Sutrisno, tokoh yang dikenal sebagai sesepuh ojek kambing Semanu, profesi ini sudah ada sejak Pasar Hewan Munggi berdiri puluhan tahun silam. Saat ini, sekitar 18 orang masih aktif menjadi ojek kambing, dan mereka rutin berkumpul dalam arisan setiap Jumat Kliwon. "Dulu, sebelum ada mobil-mobil besar atau kiriman online, ya hanya kami yang bisa mengantar kambing sampai ke pelosok-pelosok," kenangnya.

Sigit Riyanto (54), salah satu tukang ojek kambing, mengaku sudah menjalani profesi ini sejak harga bensin masih Rp500 per liter. Meski kini BBM sudah belasan ribu, semangat Sigit tak pernah surut. "Selama masih ada pasar dan yang beli kambing, kami masih ada," ujarnya sembari terkekeh.

Meski cara kerja mereka sederhana, jasa ojek kambing tetap diminati. Proses pengangkutan kambing dilakukan dengan mengikat kaki kambing agar tidak meloncat, lalu diletakkan di atas kronjot di belakang motor. Sisi kosong keranjang biasanya diisi batu sebagai pemberat agar motor tetap seimbang. Jika pembeli ikut naik, posisi kambing bisa diapit di tengah antara pengendara dan pembonceng. Tarifnyapun bervariasi, mulai Rp25.000 hingga Rp150.000, tergantung jarak dan kondisi pasar.

Permintaan biasanya melonjak tajam menjelang Idul Adha, di mana para tukang ojek bisa mengantar hingga 10 kali dalam sehari. Tak jarang, mereka mengantar kambing sampai ke luar kota, seperti Yogyakarta atau Praci, Jawa Tengah. Namun, perkembangan zaman perlahan menggerus eksistensi ojek kambing. Kini, semakin banyak orang yang memanfaatkan jasa pengiriman daring dan pembelian kambing via online marketplace. "Sekarang mulai sepi, kalah dengan hape yang bisa pesan hewan antar rumah," kata Sigit dengan nada lirih.

2 dari 2 halaman

Warisan Lokal yang Perlu Dijaga

Pasar Hewan Munggi bukan sekadar tempat jual beli ternak. Ia adalah simbol gotong royong, interaksi sosial, dan dinamika ekonomi rakyat. Di balik bisingnya transaksi, ada denyut kehidupan para ojek kambing yang terus berjuang menjaga tradisi, meski era telah berubah.

Bagi siapa saja yang ingin merasakan atmosfer khas pasar tradisional dan melihat tradisi unik ini, datanglah ke Pasar Hewan Munggi pada hari Kliwon. Di sana, Anda akan menjumpai kisah tentang kambing, motor tua dengan kronjot, dan para pengojek yang setia menjaga warisan local merupakan sebuah potret tentang ekonomi rakyat yang berjalan seiring waktu, tak lekang dimakan modernisasi.

EnamPlus